Oleh Agustinus Handoko

Wilayah perbatasan Nusantara, seperti Kalimantan Barat, seharusnya menjadi beranda depan Indonesia. Sayangnya, atas nama keterbatasan anggaran, ruang paling depan rumah besar Indonesia itu nyaris menjadi ruang belakang yang sama sekali tak siap menyambut tamu.

Hanya lima titik di perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar) dan Sarawak, Malaysia, sepanjang 866 kilometer, yang aksesnya sudah terbuka hingga ke ibu kota kabupaten dan provinsi. Selebihnya, kampung-kampung di garis batas kedaulatan negara ini sulit diakses, bahkan ada yang terisolasi. Sebagian lain justru lebih mudah diakses lewat Sarawak.

Lahir dan tumbuh di Nanga Merakai, Kabupaten Sintang, yang berbatasan dengan Sarawak, Asriyadi Alexander Mering memilih jalur pemberdayaan melalui blog untuk mengangkat persoalan masyarakat perbatasan ke permukaan. Harapannya, persoalan itu bisa diketahui para pembuat kebijakan.

Border Blogger Movement yang didirikannya tahun 2011 berhasil mencuri perhatian pusat kekuasaan di Jakarta. ”Sudah seumur kemerdekaan Indonesia, warga perbatasan berteriak soal perlunya infrastruktur. Mereka juga sudah menempuh jalur birokrasi. Tetapi, suara masyarakat perbatasan seperti tak terdengar gaungnya,” ujar Mering.

Awalnya, adalah Borneo Blogger Community yang menjadi pijakan Mering pada 2008. Ini adalah organisasi beberapa komunitas bloger di Kalbar yang didirikan beberapa bloger, termasuk Mering. Pada masa itu, tak mudah mengumpulkan bloger yang berdomisili di Kalbar. Kalaupun ada, umumnya bloger tinggal di luar Kalbar, seperti Jakarta.

Suatu saat Mering bertemu sejumlah bloger dan pendiri komunitas bloger. Mereka sepakat mendirikan Borneo Blogger Community untuk mewadahi berbagai ide warga. Sampai 2010, tercatat sekitar 31.000 bloger yang menggunakan tagline Borneo Blogger Community walaupun mereka kemudian membuat komunitas-komunitas baru.

Berawal dari hobi menulis, banyak bloger yang memanfaatkan internet dan blog untuk mendapatkan uang. Seorang teman Mering asal Australia yang pernah mengangkat fenomena bloger di Kalbar mengkritiknya. ”Di mana para bloger idealis itu? Kenapa sekarang sunyi?” tanya sang sahabat.
Pertanyaan itu menggelitik Mering. Dia punya ide membuat komunitas bloger bagi warga perbatasan Kalbar dan Negara Bagian Sarawak. Harapannya, komunitas itu mampu mengangkat persoalan dan dibaca masyarakat luas.

Media arus utama yang sering mengangkat persoalan warga perbatasan juga punya kendala kontinuitas pemberitaan. Akses yang jauh dari pusat pemerintahan ke perbatasan menjadi sebab.
”Bahkan, yang lebih memprihatinkan, selama ini yang mengemuka justru provokasi-provokasi mengenai masalah perbatasan. Padahal, sesungguhnya masyarakat yang tinggal di perbatasan tak ada persoalan dengan warga perbatasan negeri jiran.”

Upaya Mering merealisasikan gagasannya membentuk komunitas bloger di perbatasan bersambut dengan gagasan Ford Foundation lewat Cipta Media Bersama. Lembaga nirlaba itu sedang menyelenggarakan program hibah terbuka. Border Blogger Community adalah salah satu kelompok yang disetujui proposalnya.

Jurnalisme kampung
Berangkat dari profesinya sebagai jurnalis surat kabar lokal di Kalbar, Mering membawa prinsip dasar jurnalisme bagi komunitasnya. Selain mengajarkan elemen dasar jurnalistik 5W+1H (what, who, when, where,why, how), ia juga mengajarkan soal pertanggungjawaban tulisan.
”Setiap tulisan tak boleh mengandung fitnah. Kalau menulis tentang beberapa pihak yang berbeda pendapat, konfirmasi adalah wajib,” ujar Mering.

Untuk mendekatkan komunitas dengan suasana lokal, ia menyebut gagasannya sebagai jurnalisme kampung. Jurnalisme yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan warga setempat.
Selama pelatihan, warga mendapat fasilitas modem dan pulsa. Mering menggandeng sejumlah bloger atau wartawan yang sudah terbiasa menulis di blog. Selain mendapat pelatihan mengenai teknik menulis blog, mereka juga mendapat pelatihan mengenai fotografi dan produksi video sederhana.
Kini, lebih dari 100 warga desa atau kecamatan yang berbatasan langsung dengan Sarawak menjadi anggota komunitas Border Blogger Movement. Mereka memiliki blog masing-masing atau mengisi blog www.borderblogger.org.

Pelatihan gratis itu punya kontrak belajar unik. Jika berhenti sebelum masa belajar selesai, peserta harus mencari pengganti. Setelah selesai pelatihan, mereka juga wajib memberikan pelatihan gratis kepada siapa pun yang ingin belajar menulis di blog.

Evaluasi program menjadi salah satu fokus Mering. Di Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, misalnya, setelah pelatihan, peserta tak aktif lagi menulis di blog. Setelah didatangi, ternyata selama beberapa pekan sinyal telepon seluler dan sinyal data internet hilang.

Kebiasaan menulis di blog itu menumbuhkan sikap kritis, salah satu sikap yang sejak awal ditunggu Mering. Kritik salah seorang bloger di Kabupaten Sambas mengenai kondisi bangunan sekolah di sekitarnya adalah salah satunya.

Rupanya, salah satu anggota staf kementerian yang membaca tulisan itu langsung mendatangi lokasi. Tak berselang lama, kementerian itu mengoordinasi perbaikan dan penambahan fasilitas sekolah sehingga layak digunakan warga.

”Ini bukti, rantai informasi yang semula dikuasai penguasa bisa diputus. Kini semua orang bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama, dari warga perbatasan langsung,” kata Mering.
Informasi dari para bloger di perbatasan itu juga mulai merambah ke media arus utama, baik online maupun cetak. Beberapa bloger juga berkontribusi menjadi jurnalis warga.
Untuk meningkatkan antusiasme para bloger perbatasan, digelar lomba penulisan. Tulisan-tulisan terbaik akan dicetak dalam buku. Suara dari Batas Negara yang terbit tahun 2013, misalnya, memuat 14 tulisan para bloger yang terpilih.

Suber: www.kompas.com